Rabu, 10 September 2014

Air Nasib


“Eh, gimana kabarnya tentang air nasib
lo?” tanya Zekri kepada Awan, teman
dekatnya.
Awan memang seringkali menggantungkan
nasibnya pada kran air. Unik memang. Jika
ia memutar putaran kran air tanpa
hambatan atau lancar, artinya ia akan
mendapat keberuntungan. Begitu juga
sebaliknya. Namun untuk memutarnya
tidak dapat disengaja.
“Ya nggak gimana-gimana,” jawabnya
singkat. “Oh iya, tadi pagi gue muter kran
mulus, tanpa hambatan.”
“Terus?” tanya Zekri penasaran.
“Jadi tadi di sekolah gue nemuin uang
sepuluh ribu,” katanya sedikit sombong.
“Eh, mendingan lo kasih lagi uangnya ke
yang punya. Emangnya lo nggak takut
dosa?”
“Uang ini tuh udah jadi milik gue, mungkin
bukan rezeki yang punya.” Awan memang
sedikit keras kepala kalau dia sudah
mendapatkan keberuntungannya.
Beberapa waktu yang lalu ia juga pernah
menemukan uang dalam jumlah yang lebih
besar. Lima puluh ribu rupiah. Ia
menemukannya di depan gerbang sekolah
sewaktu pulang sekolah. Kemudian ia
langsung memberi tahu Zekri.
“Zek, tunggu!” kata Awan sambil
berjongkok membetulkan tali sepatu,
padahal ia sedang menginjak uang yang ia
temukan. Kemudian Awan segera
memasukkan uang itu ke sakunya dan
berbisik pada Zekri, “Eh gue nemu duit.”
“Berapa?”
“Tapi lo diem-diem aja.”
“Bener ya?”
“Iya deh.”
Awan pun memperlihatkan uang yang dia
temukan kepada Zekri.
“Buseeet!” seru Zekri. “Mending uang itu
lo kasih ke sekolah, bilang kalo lo nemuin
uang itu di depan gerbang.”
“Males!!!”
“Atau lo diamalin aja ke masjid.”
“Iya iya nanti gue amalin ke masjid.”
“Semuanya ya?”
“Enak aja.”
“Berarti sama aja lo makan uang haram.”
“Nggak juga kali. Lagian kan ini udah
rezeki gue.”
Awan tetap keukeh menganggap uang
yang ia temukan adalah rezekinya. Dasar
kepala batu.
Ada satu kisah lagi dari Awan dengan air
nasibnya itu. Ini dia.
Saat pagi hari sebelum berangkat ke
sekolah, ia gagal tiga kali untuk memutar
kran air secara lancar. Otomatis hari itu ia
mendapat kesialan tiga kali juga.
Kesialan yang pertama, ia terlambat kes
ekolah dan dihukum keliling lapangan
basket 5 putaran.
“Aduh mati nih gue! Udah terlambat 10
menit nih gue. Bakal dihukum dah,”
katanya takut.
Sesampainya di sekolah, ia tidak diizinkan
masuk oleh satpam. “Pak tolong bukain
gerbangnya, saya kan mau sekolah.”
“Tidak bisa. Kalau kamu memang niat mau
sekolah kenapa bisa terlambat?”
“Iya, Pak. Saya tadi bangunnya kesiangan.”
“Ya udah, tapi nanti di dalam harus siap
dikasih hukuman.”
“Iya deh,” jawab Awan pasrah.
Setelah ia masuk, ia langsung ditegur oleh
staf kesiswaan. Awan diberi hukuman
untuk lari lapangan basket sebanyak 5
putaran. Awan pun segera melakukannya.
Keringat mulai bercucuran dari dahi dan
lehernya.
“Aduh, kran sialan,” dumelnya.
Kesialan yang kedua, nilai ulangan
matematikanya seminggu yang lalu
kebakaran alias jeblok alias buruk. Ia
mendapat nilai 3,5.
“Anak-anak, hari ini ibu akan membagikan
hasil ulangan kita minggu lalu. Yang
nilainya di bawah 7, harus mengerjakan
soal di buku cetak sebanyak 30 soal dan
lusa harus sudah dikumpulkan,” seru Bu
Tutik, guru matematikanya.
Salah seorang murid pun mulai
membagikan hasilnya. Awan harap-harap
cemas. Wajahnyanya terlihat gelisah. Tak
henti-hentinya ia berdoa dan memohon
agar ia melihat angka 10 di kertas
ulangannya itu. Padahal bagaimanapun
ulangan sudah dikoreksi dan masing-
masing murid sudah mendapatkan
hasilnya. Ada beberapa murid yang terlihat
senang karena hasilnya memuaskan, ada
pula yang terlihat sedih karena hasilnya
buruk, dan ada juga yang justru bangga
terhadap nilai buruknya dan diperlihatkan
kepada teman-teman lainnya. Zekri, yang
juga merupakan teman sebangku Awan,
sudah mendapatkan hasilnya terlebih
dahulu. Ia mendapat nilai 9.
Temannya yang membagikan hasil ulangan
itu berjalan ke tempat duduk Awan dan
meletakkan kertasnya secara terbalik
sambil berkata, “Rasain lo, emang enak!
Makanya punya kepala jangan keras-keras
kayak batu.” Temannya itu pun segera
berjalan. Zekri yang berada di sebelah
awan hanya tersenyum-senyum
mendengar perkataan temannya tadi. Awan
mulai membalik kertasnya dan melihat
hasilnya. Ia sedikit terkaget melihat
hasilnya dan wajahnya terlihat lemas
seperti orang bodoh, padahal ia sudah
hampir sering melihat nilai kebakaran di
kertas ulangannya. Di kanan atas kertasnya
tertulis angka 3,5 dengan tinta merah yang
sengaja dibesar-besarkan oleh gurunya.
Awan hanya bisa menghembuskan nafas
pasrahnya.
Kesialannya yang ketiga, saat pulang
sekolah ia tercebur dalam sungai dan
basah kuyup.
Sewaktu ia sedang jalan pulang melewati
pinggir sungai, tiba-tiba saja ia terpeleset
dan tercebur ke dalam sungai itu. Ada
beberapa anak sekolah lain yang tertawa
melihatnya saat tercebur. Lagi-lagi Awan
hanya bisa pasrah. “Huh, sial, sial.”
Lengkap sudah kesialannya hari itu. Entak
kenapa seringkali nasibnya ditentukan oleh
kran air. Aneh memang, tapi itulah Awan,
suatu keunikan tersendiri baginya yang tak
bisa disengaja.
Cerpen Karangan: Egi Putra Pamungkas
Blog: berjutarasaberjutacerita.tumblr.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar